KESADARAN masyarakat bahwa pendidikan sebagai investasi di masa yang akan datang masih kurang. Banyaknya masyarakat yang enggan untuk menghabiskan sebagian besar penghasilannya untuk pendidikan. Padahal,23 juta penduduk miskin di Indonesia menghabiskan penghasilannya untuk rokok sebesar Rp23 trliun per tahun.
Jadi pengeluaran per kapita penduduk Indonesia untuk rokok mencapai Rp1 juta. Ini khusus untuk orang miskin. Bandingkan dengan pengeluaran untuk bidang pendidikan. Jika uang SPP per bulan Rp30 ribu per bulan untuk sekolah negeri maka pengeluaran untuk pendidikan hanya Rp360 ribu per tahun. Dan kondisi ini membuat angka putus sekolah tinggi. Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2006, 6 dari 10 rumah tangga Indonesia atau sekitar 35,1 juta rumah tangga mempunyai pengeluaran untuk rokok.
“Rumah tangga perokok mengeluarkan biaya untuk tembakau dan sirih sebesar Rp 117.624 per bulan atau sebesar 9,29 persen dari seluruh pengeluaran rumah tangga,” papar Ayke.
Sedangkan berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) dan Departemen Kesehatan (Depkes) tahun 2007 menunjukan, bahwa rata-rata jumlah rokok per hari yang dihisap perokok di desa sebanyak 11 batang. Sedangkan perokok di kota menghabiskan 12 batang.
“Yang mengejutkan adalah rata-rata jumlah rokok yang dihisap oleh perempuan mengalami kenaikan yang yang cukup tajam dari 10 batang per hari pada 2004 menjadi 16 batang per hari pada 2007,” imbuhnya
Berdasarkan survei penulis, komponen pengeluaran masyarakat yang kedua adalah untuk komunikasi yakni pulsa hand phone dan kedua adalah rokok. Sedangkan untuk bidang pendidikan yakni seperti koran atau majalah hanya lima persen dari pendapatannya. Maka jika upah minimum kota (UMK) sebesar Rp 1 juta maka untuk pembelian buku tersebut hanya Rp50 ribu.
Pola pikir ini harus diubah dengan segera. Sejarah membuktikan, bangsa yang menginvestasikan untuk sumber daya manusia akan lebih maju dibandingkan dengan negara lainnya. Seperti halnya, Inggris dan Spanyol.
Pada masa keemasan penjajahan kedua negara tersebut, Spanyol berlomba-lomba membangun gedung-gedung di negaranya. Sedangkan Inggris membangun sumber daya manusianya. Jadi tak heran jika banyak perguruan tinggi tertua di eropa mungkin di dunia berada di Inggris.
Setelah beberapa tahun, Inggris memiliki negara jajahan terbesar di dunia. Bahkan, bahasa nasionalnya menjadi bahasa internasional.
Antara Malaysia dan Indonesia misalnya. Pada masa jaya minyak sebagai komoditi utama perdagangan dunia, Indonesia berlomba untuk membangun infrastruktur. Bandingkan dengan Malaysia yang berlomba membangun SDM-nya. Bahkan, guru-guru dari Indonesia pun didatangkan ke Malaysia. Demikian juga untuk mahasiswanya.
Setelah lima belas tahun, keadaan terbalik. Sekarang, mahasiswa Indonesia justeru melanjutkan pendidikan ke negeri jiran Malaysia. Dan Malaysia pun saat ini mampu membangun infrastrukturnya dengan baik.
Jadi, seharusnya masyarakat dan pemerintah harus sadar akan pentingnya pembangunan bidang sdm yang secara kasat mata tidak nampak. Namun, untuk beberapa tahun akan menampakkan hasilnya.


This entry was posted on 12.01 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

1 komentar:

    selimut mengatakan...

    terlalu banyak uang yg habis hanya utk beli rokok

  1. ... on 26 Februari 2016 pukul 17.06